Kaitannnnn :) :0 ;(
Parahnya tidak mengetahui jalan adalah ketika malu bertanya
dan tidak mau mencari solusi, satu-satunya solusi yang saya pakai untuk
mengatasi ketidaktahuan saya akan jalan adalah mencari taksi dan rela membayar
lebih mahal, namun untuk hari ini saya tidak malu untuk bertanya jalan, namun
saya tahu di daerah yang sedang saya singgahi tidak ada sama sekali angkutan
yang ada hanya mobil pribadi, bajaj, dan taksi.
Hari ini saya ke kemayoran, saya rasa kalian sepakat dengan
saya untuk berkata “sangat sulit mencari angkot di sini.” Ke kemayoran
bukan
karena saya tidak ada tujuan, saya selalu memiliki tujuan untuk melakukan
sesuatu biarpun kurang jelas bagi orang lain apa yang saya lakukan tapi saya
punya tujuan, hari ini keponakan saya masuk rumah sakit dan saya harus datang
melihatnya, kata ‘harus’ di sini berarti terpaksa, karena saya harus mengambil
kunci kamar saya yang tertinggal di tas mamanya keponakan saya ini, datang ke
situ dengan sedikit menghiburnya, dan menagih apa yang saya tuju ‘sebenarnya’.
Tentu saja mama saya sebagai nenek dari keponakan saya ini sangat lhawatir
sehingga neneknya keponakan saya ini menelpon saya untuk dijemput dan pergi
bersama ke rumah sakit yang berada di daerah kemayoran.
Saya ke luar rumah sakit dengan kebingungan untuk naik (kendaraan
umum)apa? Saya sama sekali tidak ada ide untuk ke rumah yang berada di daerah
Kota dari kemayoran naik apa? “Tuhan berikan aku ide!!!” paksa ku, tapi ide itu
tidak datang juga. L,
akhirnya saya harus menaiki kendaraan yang pertama kali saya lihat “Taksi”,
saya pikir saya akan merasa baik menaiki taksi, bisa membaca buku dan sampai
rumah dengan sangat nyaman bertemu mama yang sudah lama tidak bertemu kemudian
ke rumah sakit bersama dengan nenek keponakan ku itu—memikirkan itu tenang
rasanya.
“ pak, Pekojan yah… Tambora.”
Supir taksi tahu rupanya, begitu menyenangkan mendapatkan
supir taksi yang tahu jalan—kadang-kadang saya tidak menemukan supir taksi yang
tahu jalan. Saya membuka novel ‘Dunia Sophie’dan kemudian membacanya dengan
tenang ketika masuk taksi, makin lama sinar dari luar kaca mobil semakin
menghilang, saya mulai gelisah ketika saya mellihat taksi yang saya tumpangi
diam di daerah mangga dua, diam, diam, dan diam, kediaman taksi itu membuat
saya gelisah. Jakarta macet, argo bertambah, saya sampai rumah jam berapa?,
besok saya ujian, dan saya masih penasaran dengan isi novel yang belum selesai
saya santap ini. Taksi berjalan sangat lambat sehingga butuh waktu satu
setengah jam untuk sampai di flyover kota-jembatan lima, saya menelpon mama saya
dan bertanya apakah mama saya masih berniat menjenguk cucunya? Tapi dia jawab
tidak karena badannya tiba-tiba tidak enak. Oh, argo taksi membengkak untuk
apa? Akhirnya saya tidak bertemu mama, saya harus pulang ke tempat saya tinggal
untuk istirahat, mata saya memandang jam tangan saya yang sudah menunjukan
pukul 7.00 WIB, saya membayar taksi
dengan uang yang sangat disayangkan, saya berjalan dengan wajah yang sangat
terlihat sedang marah sehingga pantas ditaruh plang “awas manusia galak!” di
dada dan punggung saya dan rasanya ingin menaruh plang “jangan sentuh! Sedang
tidak jinak!”.
Ternyata kemacetan bisa membuat saya binal, dan tidak ramah.
Harga taksi yang membengkakpun alasan yang tepat untuk membuat saya seperti
binatang buas. Akhirnya saya tahu kalau saya sedang merasakan “kesehatan mental
yang terganggu” karena “psikologi lingkungan”.
Comments