SEPENDEK KELINGKING


Anak lelaki kurus kelas 4 sd berjalan melewati pasar dan tumpukan sampah untuk mencapai rumah sewanya yang memang dekat dengan daerah pasar, Dino memperhatikan pinsilnya yang sudah sependek kelingking Dino, dia mengingat perkataan teman-temannya untuk tidak menyimpan pinsilnya yang sudah sependek kelingkingnya, kalau dia masih menyimpan pinsil itu ibunya akan mati,
“ ih, liat pinsilnya Dino udah sependek kelingkingnya!” teriak Muti teman sekelasnya yang gendut dan suka sekali bergosip,
“ mana?” teriak Fendi dari seberang bangku Muti yang duduk di belakang Dino “ wah, Dino hati-hati nanti mamamu mati karena pinsilmu sudah sekecil kelingking.”
“ iya Dino, jangan sampai mamamu mati karena pinsil itu, lebih baik kamu buang dan kamu ganti dengan pinsil yang baru.” Saran Lola yang duduk disebelahnya.
 Dino hanya bisa diam saat itu, dia berpikir dia sangat ingin mengganti pinsilnya itu tapi untuk makan saja sangat sulit  bagaimana ia mau meminta ibunya yang orang tua tunggal itu membelikan pinsil lagi untuknya, untuk memiliki pinsil satu batang saja Dino sudah sangat bersyukur, karena harga paling murah dari pinsil saja Rp 2500,- bagaimana dia dapat membeli pinsil kalau upah mamanya yang menjadi tukang cuci hanya Rp 20000,- per hari, belum bayar rumah sewa dan memberi makan, mengumpulkan biaya untuk membeli buku Dino setiap semesternya, sangat beruntung Dino bisa sekolah karena sudah ada sekolah gratis.
Mendengar teman-temannya yang masih berbincang tentang pinsil sependek kelingking, Dino hanya bisa tersenyum, teman-temannya tahu kalau Dino hanya seorang anak buruh cuci, namun mereka hanya berpikir kalau  upah mamanya Dino pasti sama saja dengan upah orang tua mereka, bisa membelikan mereka pinsil setiap bulannya agar tidak sampai sependek kelingking.
Dino sampai di rumahnya, dia memasukan pinsil yang masih dipegangnya ke dalam tas dan memperhatikan lauk yang ada, hanya 1 iris tipis tempe dan sedikit nasi di panci, dengan mencoba gembira dia menerima makanannya siang itu, dia mengambil sepetik tempe dengan nasi yang lumayan banyak digenggamannya sehingga tempenya tidak begitu terasa, tapi Dino berusaha agar tempenya tersisa dan dia bisa menikmati tempenya di akhir makannya sehingga terasa memakan tempe yang banyak karena lebih dulu habis nasinya daripada tempenya, Dino mencuci tangan dan mulai mengambil buku dan pinsilnya, dia memperhatikan pinsilnya dan menggelengkan kepala seakan berkata “ tak usah dihiraukan kata-kata mereka”, Dino mulai mengerjakan pekerjaan rumahnya, sampai sore dia melakukan itu, dia meraut pinsilnya yang mulai tumpul dengan berharap tidak mencapai dibawah kelingkingnya, selesai meraut dia mengukur pinsilnya dengan kelingkingnya , Dino melepaskan napas lewat mulut, “ pinsilnya masih sekelingkingku.” Katanya pelan.
Hari-hari Dino di sekolah sangat ditegangkan oleh teman-temannya yang selalu mengingatkan Dino agar mengganti pinsilnya, Dino hanya tersenyum, hatinya serasa ingin berteriak, “ aku mau membeli pinsil baru, aku sangat menginginkan pinsil baru, bukan hanya untuk mneghindari agar ibuku tidak meninggal.”
Suatu hari, pinsil Dino semakin mengecil, semakin pendek, tingginya dibawah kelingking Dino, dia ingin meminta pada ibunya untuk membeli pinsil baru ketika ibunya baru pulang di sore hari, “ ibu, “ panggil Dino ketika ibunya baru saja masuk di ambang pintu rumah sewa mereka, “ ya? “ Ibu Dino menjawab panggilannya dengan suara yang sangat lemah, Dino diam dan tidak tega ketika baru mendengar suara ibunya, “ kenapa Dino?” sahut ibunya lagi masih dengan suara yang lemah, sambil mendekati Dino di kasur yang juga ruang duduk dan ruang makan mereka, Dino tidak berkutik hanya menggelengkan kepalanya, “ oh, kamu sudah makan Din?” tanya ibunya yang sekarang mulai batuk, Dino mengangguk, tak ada niat lagi meminta pinsil baru kepada ibunya di benak Dino, dia hanya ingin merawat ibunya yang terlihat lemah sekarang, Ibunya batuk lagi dengan tangan menutupi mulutnya, ketika ibunya melihat telapak tangannya, Dino melihat ada darah di tangan ibunya, Dino mulai mengeluarkan suara,
“bu, ibu sakit ya?” tanya Dino dengan suara yang pelan.
“gak, mungkin ibu kecapean aja, besok juga udah sehat lagi kok!” jawab ibunya dengan suara sedikit bergetar sekarang
Dino diam dan memeluk ibunya, rasanya dia sangat takut kehilangan ibunya karena pinsil yang sudah mulai memendek, Dino tidak mau ibunya terlihat lemah seperti itu karena pinsilnya yang sudah mulai lebih pendek daripada kelingkingnya, dia menitikkan air mata di pundak ibunya,
“ kamu kenapa menangis Din?” tanya ibunya seraya melepaskan pelukan Dino
“Dino enggak mau kehilangan ibu… ibu jangan pergi, biarin besok Dino yang kerja, ibu enggak usah kerja, ibu istirahat aja..ya bu ya…” Dino memohon pada ibunya
“ tapi ibu enggak sakit Dino…” kata ibunya membela diri
“ibu bohong, Dino tahu ibu sakit, tadi pas Dino peluk ibu badan ibu panas dan tadi Dino melihat ibu mengeluarkan darah dari mulut ibu…” kata Dino, ibunya diam dan mengangguk tidak mengeluarkan satu kata pun.

***

Pagi-pagi buta Dino sudah bangun, mendaftarkan diri di hari sebelumnya untuk menjadi loper koran, dan pada jam 6 pagi Dino mulai berjalan ke sekolahnya, hari itu suasana sekolahnya sedang berduka, teman kelas sebelah Dino yang bernama Fenny ibunya meninggal mendadak, seluruh sekolah ramai memperbincangkan kemeninggalan ibunya Fenny, apalagi kelas Dino,
“ eh, aku denger-denger mamanya Fenny meninggal karena Fenny menyimpan pinsil yang sependek kelingking itu lho…” kata Muti berteriak, dia memang perintis dalam suatu gossip di kelasnya,
“ tapi aku lihat pinsilnya Fenny panjang gak kecil kayak punya Dino!” kata Jammy menentang berita dari Muti,
“ ya itu kan yang dipakai di sekolah, dia punya yang sependek kelingking di rumahnya, kan aku pernah diajak main ke rumahnya Fenny, terus aku udah kasih tahu sih mungkin dia belum buang pinsilnya.” Kata Muti panjang lebar, Dino hanya mendengar teman-temannya bergosip, suara di kelasnya semakin gaduh membicarakan ibunya Fenny teman kelas sebelah mereka, ketika guru masuk ke kelas mereka baru berhenti membicarakan ibunya Fenny.
Sepanjang jam pelajaran Dino tidak konsen mendengarkan pelajaran, sampai pulang sekolahpun dia tidak terlalu mempedulikan sekelilingnya, Dino hanya bertanya-tanya di dalam hati “ apakah benar ibunya Fenny meninggal karena dia memiliki pinsil sebesar kelingking? Aku enggak mau itu terjadi padaku juga.”  Sesekali orang di jalan melihat Dino sedang menggelengkan kepalanya, orang-orang yang melihat ke arah dino hanya tertawa melihat tingkahnya yang seperti orang dewasa, namun mereka tidak tahu bahwa pinsilnya yang sependek kelingking itu sangat mengganggu pikiran Dino, setelah sampai di rumah sewa Dino membuka tasnya, mengeluarkan buku dan pinsil, hari ini ibunya ada di rumah sewa mereka, Dino mengerjakan PRnya dan sesekali melihat ke arah pinsilnya yang sudah lebih pendek dari pada kelingkingnya, tanpa Dino sadari ternyata ibunya yang sedang berbaring lemah melihat tingkahnya yang aneh itu¸
“ kenapa Din dengan pinsilmu? Apa sudah tidak nyaman untuk dipakai?” tanya ibunya
Dino menjawab dengan menggeleng, dia menyelesaikan PRnya dan mulai memandangi pinsilnya lagi, Dino memasukan buku ke dalam tasnya namun tidak memasukan pinsil ke dalam tasnya, dia memasukan pinsil ke saku celananya, Dino pamit kepada ibunya setelah mengganti baju sekolahnya dengan kaos dan celana pendek tak lupa dia pindahkan pinsilnya dari saku celana merahnya ke saku celana pendek yang biasa dia pakai sehari-hari, dia pergi ke tukang koran dan mulai menjajakan koran sore di bus-bus, di jalan-jalan besar, dan lumayan sekali hari itu Dino mendapatkan korannya habis terjual, dia mendapatkan komisi yang lumayan dan membeli obat di apotek untuk ibunya serta membeli lauk untuk makan malam mereka, ketika berjalan pulang Dino ingat bahwa dia menaruh pinsilnya di dalam kantongnya, dengan memegang keresek berisi obat dan lauk di tangan kirinya, Dino mengambil pinsilnya yang ada disaku kanan celananya dengan tangan kanannya, dia memperhatikan pinsilnya dan berhenti berjalan,
“ aku ingin membuangmu agar ibuku tidak meninggal.” Kata Dino kepada pinsilnya, pinsilnya diam tak bergerak, “ tapi kalau aku membuangmu, aku akan menulis pakai apa di sekolah? Aku kan juga harus membanggakan ibuku, tanpamu aku enggak mungkin dapat nilai atas PR-PR ku,”
Dino diam sejenak,
“ tapi kalau kamu ada ibuku akan bisa melihatku berprestasi,” lanjut Dino “aku sangat-sangat takut ibuku meninggal karena kamu,” Dino mulai tersenyum dengan penuh paksa,”kalau begitu tolong aku, aku membutuhkanmu pinsil, aku juga membutuhkan ibuku tetap ada di sampingku, jadi tolong, jangan buat ibuku meninggal, aku percaya kamu itu pinsil yang baik, dan enggak akan membawa kutuk meninggal atas ibuku.”
Dino mulai mencoba melebarkan senyuman di bibirnya, dia memasukan kembali pinsilnya kedalam saku kanan celananya, dia mulai memberikan keceriaan kepada ibunya ketika dia baru sampai di rumah sewanya, dia mencoba percaya bahwa pinsilnya itu enggak akan membuat ibunya meninggal, dia selalu tersenyum ketika ibunya melihat ke arah nya, Dino memalingkan pikiran yang buruk itu dengan bekerja dan sekolah sembari mengharapkan kesembuhan ibunya,
***
Setiap Dino berangkat ke sekolah rasanya hati Dino menciut karena teman-temannya akan menyruhnya mengganti pinsilnya, yang sudah sangat pendek sekarang, tapi Dino menahan untuk tidak mengganti pinsilnya sampai ibunya sembuh, sampai pinsil itu benar-benar tidak dapat dipakai,
“ Dino, emangnya kamu mau kejadian Fenny berulang sama kamu?” tanya Muti yang paling pertama memperhatikan orang lain, Dino menggeleng
“ klo enggak mau kamu ganti dong pinsilmu!” seru Lola teman sebelahnya,
Dino masih diam mendengar perbincangan mereka tentang pinsilnya, dan selalu kalau guru pengajar mereka masuk, seluruh anak di kelas Dino baru diam, kali ini Dino mulai mengkonsenkan dirinya dalam pelajaran, dia mulai memfokuskan dirinya pada pelajaran bukan pada pinsilnya yang sudah lebih pendek dari kelingkingnya, walaupun sesekali tersirat di pikirannya tentang pinsil sebesar kelingking itu Dino mengibaskan pikirannya dengan cara , menggelengkan kepalanya dan mulai memfokuskan dirinya pada pelajaran, selalu begitu ketika pikiran tentang pinsil itu datang ke pikirannya.
Dino mendapatkan ibunya sembuh hari itu sepulang sekolah, ibunya sudah mulai bekerja sebagai buruh cuci baju lagi, dia sudah tidak perlu menjajakan koran di pinggir jalan, ibunya sehat dan mulai ada orderan cuci lagi sehingga penghasilannya sehari bisa mencapai Rp 30000, makan mereka sudah di tingkatkan dan Dino mulai bisa minum susu, namun hanya seminggu sekali, dia mengorbankan untuk tidak membeli pinsil baru agar dia dan ibunya tetap makan dan ibunya sembuh, dan Dino mendapatkan balasan atas semua pengorbanannya, dia mendapatkan ibunya sembuh, dia dan ibunya tetap makan, bahkan dia mendapatkan susu seminggu sekali, dia mendapatkan lebih dari yang dia inginkan, dan hari setelah ibunya sembuh Dino mendapatkan kejutan dari ibunya ketika ibunya baru pulang bekerja,
“ Din, tebak ibu bawa apa?” ibunya menyembunyikan sesuatu dibelakang pinggangnya,
Dino menaikan pundaknya dan menggeleng, dia sangat berharap ibunya membawa barang yang sangat ia inginkan,
Ibu Dino menyodorkan buku ke Dino, Dino menarik napas dan menerimanya, “ terima kasih bu…” katanya dengan suara yang lemas.
Dan kemudian ibunya menyodorkan pinsil ke arahnya, Dino tersenyum lebar melihat barang yang sangat dia inginkan ada di tangan ibunya saat itu, Dino memeluk ibunya dan mencium pipi ibunya…
“ untuk yang kali ini Dino mengucapkan banyak-banyak terimakasih ibu,”
Sekali lagi dengan pengorbanan membiarkan pinsilnya yang semaikn lama semakin pendek, lebih pendek dari kelingkingnya, Dino mendapatkan semua yang dia inginkan, keinginan sederhana namun berharga untuknya, pengorbanan Dino tidak sia-sia, semua perkataan kutuk tentang pinsilnya yang sudah lebih pendek dari kelingkingnya menjadi sebaliknya walaupun Dino harus melewati banyak rintangan sebelum mendapatkan keinginannya. Dino bisa tersenyum lebar sekarang dan dia tidak lupa mengambil pinsil sependek kelingking itu di dalam tasnya,
“ pinsil, terima kasih untuk kerjasamanya, bahwa kamu enggak akan mendatangkan kutuk meninggal atas ibuku, terimakasih karena kamu mau membantuku”
***

Comments

Popular posts from this blog

Apakah kita benar-benar tahu diri kita?

Sebuah Konfirmasi dari "Sang Ketua"

NENEK BUNGKUK CERIA